HURU HARA KOTA SOLO 1998 SEBUAH KRONOLOGI

masih jelas teringat di ingatan kita semua tentang tragedi kerusuhan mei 1998, kita tak kan pernah lupa walaupun itu merupakan lembar sejarah hitam negeri ini. dalam peristiwa itu Kota Solo merupakan salah satu kota dengan tingkat kerusakan lumayan parah, tidak hanya kerusakan sarana dan prasarana kota namun juga akhlaqnya juga.

Ada 3 (tiga) alasan yang seringkali dipakai untuk mengabsahkan terjadi  huru-hara di Kota Solo. Pertama, sentimen atas warga etnis tionghoa. Hal ini disebabkan karena ditinjau dari sasaran huru-hara, merekalah yang paling banyak  menerima akibatnya. Kedua, kesenjangan sosial dan krisis ekonomi. Mereka yang dalam huru-hara kemarin menjadi korban sebagian besar adalah dari golongan kaya, seperti memiliki toko, rumah bagus, supermarket dsb. Ketiga, aksi mahasiswa UMS dalam rangka memperingati korban penembakan mahasiswa Trisakti. Aksi tersebut, meskipun sangat “lokal” (baca: hanya di seputar kampus), ternyata telah dituduh sebagai api pemicu huru-hara di Solo.
Tentu alasan-alasan tersebut sah-sah saja untuk dikemukakan sebagai suatu catatan dan ingatan masa lalu. Tetapi, agaknya tak bisa di abaikan bahwa huru-hara kemarin memperlihatkan sejumlah kejanggalan dalam pola-pola dan modus operandinya. Berdasarkan kesaksian dari para saksi mata dan korban, dapat ditelusuri dengan jelas bahwa huru-hara itu bukan semata-mata “kebetulan” (coincidence). Dengan demikian, adalah enak dan perlu untuk mempertimbangkan kembali ketiga alasan diatas.
Huru-Hara Kota Solo 1998: Sebuah Kronologi
Tatkala Aksi Keprihatinan Mahasiswa Universitas Muhammadyah Surakarta (UMS) digelar pada 14 mei 1998, api huru-hara meledak dan meluluh lantakkan Kota Solo. Barangkali mahasiswa sendiri hera dan takjub: mengapa bisa jadi begini? Sebab ditilik dari agenda aksi itu sendiri, pada hari itu mereka hendak mementaskan suatu aksi keprihatinan untuk menghormati Tragedi Trisakti 12 mei 1998 dengan lokasi aksi di kampus mereka sendiri. Untuk memahami huru-hara itu dengan akal jernih dan nurani bening, marilah kita telusuri kronologi peristiwa tersebut.
  1. 14 mei 1998
Pukul 09.00               
Massa aksi sudah berkerumun di traffic light dekat kampus UMS. Tak lama kemudian aparat keamanan memasang 4 buah berikade kawat berduri persi di depan massa aksi dan dijaga oleh barisan brimob dan kostrad. Lebih jauh lagi, aparat juga mulai membubarkan kerumunan massa di halte bus dan depan Toko “Alfa” sembari melakukan biokade jalur kendaraan kearah Kota Solo (dari arah barat) namun jalur kearah timur tetap dibuka. Penjagaan aparat juga disiagakan disebelah utara UMS, dekat pondok Assalam; sebelah timur “Alfa”; depan Rumah Sakit Islam Surakarta dan sebelah barat GOR Pabelan. Maka boleh dikatakan penjagaan-penjagaan tersebut memang mengepung massa aksi di kampus UMS. Karena massa mahasiswa dari ATMI dan massa rakyat sekitar kampus (terutama dari Desa Gonilan) tidak bisa masuk ke lokasi aksi (dengan sangat terpaksa mereka mencari “jalan tikus” meski harus menerabas sawah-sawah untuk sampai kesana). Bahkan mobil ambulance untuk membantu tim medis dari UMS tidak diperbolehkan masuk meski sudah dinegosiasikan oleh perangkat aksi kepada aparat.
Pukul 10.00   
Aksi keprihatinan dimulai. Selama 45 menit aksi diisi dengan orasi-orasi oleh mahasiswa dan dosen dan diselingi juga dengan pestas teater. Karena semakin lama massa semakin padat dan mendesak-desak untuk turun jalan, perangkat aksi (dibantu dosen-dosen) mencoba untuk melakukan negosiasi dengan aparat (Kapolres dan Dandim) supaya diijinkan maju hingga separuh jalan A. Yani. Negosiasi gagal dan massa aksi tidak bisa turun jalan.
Pukul 11.00
Perangkat aksi mengajak massa untuk Sholat Ghaib. Setelah itu diteruskan  dengan orasi-orasi lagi sehingga massa semakin panas akibat negosiasi tidak membuahkan hasil dan mereka mulai mengamuk dengan menghujani aparat dengan batu-batu. Amuk massa itu coba diredakan dengan tembakan gas air mata (dengan konsentrasi bahan kuat dari gas yang pernah dipakai pada aksi sebelumnya) oleh aparat. Namun  meski massa sudah mulai tenang kembali, aparat ternyata menyemprotkan air dari panser water cannon kearah massa aksi. Massa semakin beringas dan merespon tindakan aparat itu dengan hujan batu. Kali ini aparat menyambut amukan massa itu dengan tembakan peluru karet, ketapel, dan gas air mata sehingga korban mulai bergelempangan.
Pukul 12.00
Massa aksi diajak lagi untuk sholat dhuhur. Namun aparat malah menembakkan gas air mata ke massa aksi. Ini membangkitkan lagi amuk massa dengan mulai membakar kotak-kotak telepon umum. Kembali aparat menembaki dengan peluru karet, sehingga membubarkan massa aksi dan membuahkan korban-korban lagi. Dengan seng sebagai tameng, sebagian massa aksi bergerak maju menyerang aparat keamanan dengan batu sedang yang lain mundur menyerang aparat di bagian belakang (dekat pondok Assala, utara UMS). Melihat itu semua, tim medis (PMI dan KSR) mulai bergerak untuk mengevakuasi para korban dan melarikan mereka ke Rumah Sakit Islam.
Pukul 12.30
Massa di luar aksi (Barat dan Timur) terbakar juga secara emosional lantaran menyaksikan kebiadaban di depan mata mereka. Namun aparat lebih dulu menghalau mereka agar pergi dari sana, sehingga mereka pun bergerak: massa di sisi barat kearah Kartosuro dan di sisi timur ke arah Kota Solo. Sementara itu, di lokasi aksi perang antara massa aksi dan aparat terus berlangsung sampai pukul 16.00 [Budi (mahasiswa UMS) mencoba negosiasi dengan aparat, namun tiba-tiba dari arah mahasiswa ada lemparan batu ke arah aparat sehingga ia ditarik, ditembak, dan dipukul oleh aparat].
Pukul 12.45
Massa diluar lokasi aksi mulai melakukan perusakan dan pembakaran. Mereka juga memblokade jalan-jalan dengan membakar ban-ban dan barang-barang di toko terdekat.
Pukul 13.00
Massa semakin bergerak masuk ke pusat kota sembari melakukan aksi-aksi anarkis. Dari barat tiba-tiba muncul kembali ribuan massa dan di depan Makorem sempat ditahan oleh aparat di bawah jembatan penyeberangan Kerten. Tak lama kemudian mereka bergerak lagi ke arah timur (Kota Solo) dan utara (Perumahan Jajar). Sementara di kampus UNS, keluarga mahasiswa membentuk aksi dalam bentuk sholat Ghaib untuk menghormati para pahlawan reformasi akibat tewas ditembak apara dalam Tragedi Berdarah Trisakti 12 Mei 1998.
Pukul 14.00
Kerumunan massa di tepi-tepi jalan mulai turun jalan dan bergabung juga dengan barisan massa dari barat. Lantaran toko-toko di sepanjang  Jalan Slamet Riyadi sudah rusak, massa mulai melakukan penjarahan dan pembakaran sehingga merembet dengan cepat di Kota Solo.
Pukul 15.00
Gerakan massa ke arah kartosuro pun mulai melakukan perusakan dan pembakaran terhadap toko-toko, bank, dealer mobil dan sepeda motor, bangunan mewah, pos polisi dll.
Pukul 16.00
Massa di Solo baru (sukoharjo) juga bergerak serupa dengan target sasaran terutama gedung bioskop Atrium, dealer mobil dan sepeda motor dan tak luput rumah pribadi ketua MPR/DPR RI H. Harmoko.
Pukul 17.00
Api huru-hara terus menjalar serentak di sudut kota dan tak mampu dicegah oleh siapa pun termasuk aparat keamanan. Menurut seorang saksi mata, target huru-hara diseluruh penjuru kota adalah Anti China dan Aparat. Sementara aksi di UMS dibubarkan dan massa aksi ditarik semua ke arah kampus.
Pukul 20.00
Radio memberitakan pemberlakuan jam malam di Kota Solo mulai pukul 22.00.
Sumber: Kesaksian Dari Para Saksi Mata dan Korban, 14-16 Mei 1998
 15 Mei 1998
Huru-hara di Kota Solo ini semakin meluas ke setiap sudut kota (bahkan ke kota-kota terdekat) dengan modus utama pembakaran dan penjarahan.
Pukul 04.00
Massa membakar dan menjarah Pusat Perbelanjaan Matahari Beteng. Bahkan mereka mulai memasuki kampung-kampung untuk mencari rumah dan toko milik warga etnis China. Ini membuat warga kampung di seluruh kota harus siaga satu dengan membuat berikade-berikade di setiap mulut jalan masuk ke kampung masing-masing.
Pukul 09.00
Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR) di UNS menggelar aksi keprihatinan untuk memperingati arwah 6 mahasiswa Trisakti (Jakarta) akibat ditembak aparat. Di tempat lain, konvoi 30 kendaraan bermotor melintas di depan PT Lokananta menuju Jalan Slamet Riyadi dan berbelok ke arah barat.
Pukul 11.00
SMPR dengan ribuan massa turun jalan dan minta bertemu dengan WaliKota Solo. Setelah diterima dan dialog, massa mahasiswa pulang ke UNS tanpa membuat kerusuhan.
Pukul 13.00
Huru-hara semakin menjalar kemana-mana sehingga mengganggu ketentraman dan keseimbangan hidup sehari-hari di kota ini. Sementara sejumlah pelajar melakukan aksi jalan kaki dengan sejumlah rute Jalan Slamet Riyadi (dihadang aparat) dan kemudia bergerak ke utara (melalui Balai Muhammadyah) menuju Pasar Legi. Tak bisa dihindari, huru-harapun merembet ke daerah Eks Karesidenan Surakarta seperti Delanggu, Boyolali, dan Sukoharjo.
Pukul 16.00
Konvoi kendaraan motor muncul lagi di Jalan Yosodipuro. Mereka mengenakan ikat kepala bertuliskan People Power  dan membawa bendera merah putih.
Sumber: Kesaksian Dari Para Saksi Mata dan Korban, 14-16 Mei 1998
16 Mei 1998
Aksi perusakan, pembakaran, dan penjarahan masal masih menjalar terus. Selain itu, teror psikis juga semakin gencar ditiup ke tengah-tengah massa rakyat, seperti isu-isu penyerangan kampung oleh orang tak dikenal.
Pukul 09.00
Disekitar kota masyarakat terlihat lebih banyak di dalam kampung membuat berikade penutup jalan kampung (pengamanan teritorial kampung). Massa di pinggir jalan relatif kecil. Angkutan umum macet hanya 1-2 colt angkutan umum kuning tetapi hanya dipakai untuk angkutan pribadi (sewa). Antrian bensin panjang dan dijaga oleh tentara. Terdapat konsentrasi tentara balet hijau di gapura Kleco hingga pasar Kleco sekitar 15 orang. Lalu lintas dipadati oleh kendaraan roda dua.
Pukul 11.00
Di Jl.ir Sutami terlihat patroli aparat keamanan terdiri dari 6 orang polisi URC dengan motor trail, serta 1 panser dan 1 truk tentara menuju Palur. Di Palur tiap toko dijaga oleh tentara. Dua truk tentara di parkir di depan apotik sebelah jembatan penteberangan.
Pukul 14.00
Kampung di sekitar kestalan, mangkunegara, kampung baru, dan widuran serta semua lorong jalan di blokade pada ujung jalan kampung. Orang sulit keluar masuk, penduudk yang jaga membawa tongkat pentungan.
Pukul 15.00
Di Jl. Gajah Mada, hanya ada kendaraan roda dua dan sepeda yang lalu lalang. Dua tiga orang bergerombol ditiap mulut jalan kampung yang di blokade penduduk. Polisi terlihat berjaga di perempatan seRta pertigaan jalan.
Pukul 15.45
Jalan ke arah Gading di blokade oleh orang kampung sebanyak 4 sap. Baru saja terjadi perkelahian antara warga kampung dengan gerombolan orang (katanya mereka adalah mahasiswa dari yogya yang di datangkan dengan truk kemudian berjalan kaki. Cirinya: sebagian bersepatu dan bertas, muda dan nekat) yang berjalan dari arah Grogol ke jalan Veteran melalui Gading yang ingin merusak atau menjarah. Beberapa orang nekat masuk sehingga terjadi kejar-kejaran dan massa pejalan kaki lari ke arah selatan, banyak penduduk yang menonton. Disana ada dua orang bersikap aneh yang satu bercerita dengan agresif tentang kerusuhan dan satunya diam saja mengamati dengan cermat sesekali berkomentar (bicara dengan temannya). Sekarang disana tertutup untuk orang asing (luar kampung)
Pukul 17.00
Bangkai tokoh Ratu Luwes di Pasar Legi masih dikais orang. Jumlah mayat terbakar yang di temukan ratu luwes ada dua versi. Versi pertama, ditemukan 12 mayat di lantai 1 (ada 3 perempuan dan anak kecil) dan versi kedua mengatakan jumlah yang terbakar ada 29 orang.  Penjarah berasal dari daerah berlainan yang jauh seperti mojosongo dan Palur (dibuktikan dengan laporan orang hilang). Menurut informasi, massa perusak adalah mahasiswa yang telah membuat kesepakatan dengan pihak tertentu. Siapa? Tidak tahu. Uang jarahan senilai Rp.125.000.00,- diangkut dengan karung goni, tidak dibakar tetapi kemudian direbut orang dan diserahkan aparat.
Pukul 19.00
Perempatan Jagalan ke arah selatan (Sekarpace) diblokir penduduk tetapi oleh aparat disuruh membuka sebab keamanan dijamin (ada 3-6 tentara). Sebab penjarahan yang berlangsung di hari jum’at      dianggap mencampuri oleh oknum dari luar kampung. Hingga jam 19.00 WIB masih dilakukan upaya defensif yang berlebihan disebabkan atas trauma penjarahan dan pembakaran hari sebelumnya. Orang luar yang ingin masuk kampung benar-benar di larang (dengan brikade penduduk yang ketat) bahkan dengan ancaman yen ngeyel liwat, ora urip (kalau nekat lewat, tidak selamat).
Pukul 20.00
Kampung Manahan sekitar Jalan MT. Haryono, banyak sekali orang muda siap siaga sepanjang jalan dengan membawa berbagai jenis senjata untuk  mengantisipasi serangan pemuda dari kampung Sambeng yang hendak menggarong (merampok) rumah/toko seorang warga etnis tionghoa. Ada dua mobil kijang polisi berjaga-jaga dan menanyai pemuda setempat.
Sumber: Kesaksian Dari Para Saksi Mata dan Korban, 14-16 Mei 1998
Berdasarkan kronologi diatas, ada sejumlah cacatan cukup menarik atas huru-hara itu dapat disajikan disini: (1. Ketika massa aksi mahasiswa di kampus UMS mulai mencapai temperatus cukup panas, diluar lokasi aksi mahasiswa itu massa juga mulai bergerak dengan mulai melakukan aksi-aksi anarkis seperti perusakan dan pembakaran, bahkan sempat memblokade jalan, dan terus bergerak memasuki Kota Solo. Kalau momentum ini adalah suatu kebetulan, mengapa gerakan massa diluar lokasi aksi mahasiswa itu seolah-olah menunggu dulu sampai suhu di lokasi aksi mahasiswa dirasakan cukup panas untuk meledakkan api huru-hara? Mengapa pula api huru-hara itu diledakkan pada saat dan atau setelah aksi mahasiswa di UMS, bukan di UNS dan di UNISRI, atau kampus-kampus lain? Padahal aksi-aksi mahasiswa di kampus-kampus tersebut, terutama di UNS, tidak kalah seru dan panas juga? (lihat: kronologi pada pukul 12.30-12.45) 2. Selama api huru-hara berkobar-kobar di Kota Solo, aparat keamanan kelihatan tidak begitu aktif, bahkan antisipatif, sesuai dengan fungsi dan peran mereka sebagai penjaga ketertiban dan keamanan. Barang kali mereka benar-benar “terlambat”. Namun dalam artian apakah alasan itu dapat diterima oleh akal sehat? Bukankah dalam komunitas mereka dikenal istilah siaga satu, siaga dua, atau siaga tiga? Mengapa bisa terjadi demian? (bdk. Kronologi hari pertama, kedua, dan ketiga) 3. Setelah api huru-hara perlahan-lahan mulai mereda, diisukan bahwa dalam huru-haru itu adalah mahasiswa. Jika benar demikian, siapakah “mahasiswa” itu? Mengapa pada hari kedua huru-hara masih ada aksi mahasiswa sampai turun ke jalan untuk menemui waliKota Solo? Bahkan pada hari pertama huru-hara pun, mengapa aksi mahasiswa di UMS baru di bubarkan sore hari, sementara api huru-hara semakin menjalar ke pelosok-pelosok kota? (lihat: kronologi hari pertama dan kedua) 4. Juga sering kali disiarkan bahwa huru-hara itu adalah suatu amuk massa dengan kemasan rasialis (baca: anti cina). Jika benar demikian, apakah warga kota ini memang benar-benar mengamuk lantaran sudah kehilangan kesabaran melakoni kehidupan selama ini? Apakah juga karena Solo terlanjur dikenal sebgai “kota kejutan” maka tanpa pikir panjang kita boleh menganggap huru-hara itu spontan atau kebetulan? Mengapa setelah api huru-hara itu padam mereka malah anteng-anteng saja?
Tentu masih ada setumpuk catatan lagi menggantung dalam benak kita tentang tragedi kemanusiaan di Kota Solo itu. Sementara catatan-catatan lain dengan segala macam pernik-pernik persoalan serupa menanti juga untuk segera dipecahkan.  Maka uraian sistematis berikut ini mungkin dapat dijadikan rujukan awal untuk menggugah kita semua agar semakin serius menangani pembongkaran peristiwa tersebut.


, , ,

0 komentar

Posting Komentar